Winnie The Pooh Glitter

Sabtu, 31 Maret 2012

You Smile, I Smile

Mentari oranye dengan bersemangat hati menyinari tiap sudut bumi dengan radiasinya. Kumpulan awan commulus mewarnai indahnya angkasa dihari yang sangat cerah ini. Namun, suasana hati seorang lelaki kecil, berumur sekitar 6 tahun, duduk di taman sekolahnya hanya memandang kosong kedepan. Matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis. Ia seperti memutar ulang kejadian tadi yang membuatnya sedih seperti sekarang ini.
Tiba-tiba, seseorang memanggilnya. “Denan” teriaknya dari kejauhan. Gadis itupun berlari menghampiri sahabatnya itu. “huh, kau kemana saja aku telah lelah mencarimu” kata gadis itu kepada Denan dengan raut wajah khawatir.Denan hanya terdiam dan masih memandang lurus kedepan tanpa memedulikan sahabatnya itu.
“Denan, kau kenapa? Apakah mereka mengejekmu lagi?” tanya gadis kecil itu dan duduk disebelah Denan. “maafkan aku Denan, seharusnya ketika kau diperlakukan seperti itu aku harus berada didekatmu dan ternyata aku terlambat” sesal gadis itu.
“itu bukan salahmu Sasi, mereka benar aku hanyalah lelaki buta yang tak berguna.” Kata Denan dengan seulas senyuman. Namun, pandangan Denan tak mengarah pada Sasi melainkan kearah lain. Tapi, Sasi telah memaklumi itu. Sahabatnya memang tidak bisa melihat akibat kecelakaan maut yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya dan kedua mata Denan sejak 3 tahun lalu. Dan sekarang Denan tinggal bersama neneknya.
“Denan, siapa bilang kau adalah lelaki buta yang tak berguna. Kau jangan hiraukan kata-kata mahluk yang tidak punya hati itu. Ketahuilah tiada mahluk di muka bumi ini yang sempurna. Karena dibalik kekurangan terdapat kelebihan dan dibalik kelebihan terdapat kekurangan.” Kata Sasi dengan gaya bicara seperti orang dewasa.
“hey, kau seperti orang dewasa. Ketahuilah umurmu baru 6 tahun” kata Denan mengejek
“tapi, tak salah kan aku ngomong begitu, aku hanya ingat kata-kata orang tuaku” kata Sasi tersenyum manis.
“Oke, oke... kata-katamu aku terima” kata Denan menyerah
“Denan, walaupun kamu selalu diejek dan dikucilkan, aku akan tetap menjadi sahabatmu dan menjadi mata kedua untukmu” kata Sasi dengan sungguh-sungguh
“hmm... terima kasih telah menjadi sahabat baikku, aku bahagia memiliki sahabat sepertimu”
***
11 tahun telah berlalu Denan dan Sasi masih saja menjadi sahabat karib yang tak terpisahkan, Sasi tidak pernah malu jika dia diejek karena bersahabat dengan lelaki buta, baginya ejekan dari teman-temannya hanyalah sampah yang patut dibuang, karena sama sekali tidak bermutu.
Sasi menempati janjinya pada Denan. Sasi rela menjadi mata kedua untuk sahabatnya itu tanpa mengeluh sedikitpun. Umur mereka telah menginjak 17 tahun. Mereka tumbuh menjadi remaja yang cantik dan tampan.
Pada suatu hari disuatu senja minggu ini semilir angin menemani kedua remaja yang sedang duduk ditaman kota menikmati suasana senja. Mereka adalah Denan dan Sasi.
“ Denan apakah kau merasakan hari ini adalah hari yang indah. Awan oranye keabu-abuan yang indah membelah langit”.
“ ya, walaupun aku tak bisa melihat aku dapat merasakan jika pemandangannya sangat indah” kata Denan dengan pandangan kosong kedepan.
“Denan, apakah kau sangat ingin melihat dunia lagi?”
“ya, tentu ... aku sangat ingin melihat dunia yang indah ini” katanya pada Sasi.
“aku berjanji akan membuatmu dapat melihat lagi” kata Sasi tanpa sadar.
“tak perlu karena ini adalah takdirku” kata Denan sambil menundukkan kepalanya
“hey, ini bukan takdirmu. Ketahuilah jika kau ingin, takdir dapat dirubah”
“terima kasih Sasi, karena kau telah memotivasiku dan membuatku bersemangat menjalani hidupku. Kau telah memberikan warna di hidupku yang kelam ini”
Sasi hanya memandang sahabatnya dengan tatapan iba. Dia bersikukuh untuk memberi pengelihatan pada sahabatnya. Terlintas dipikirannya jika dia akan mendonorkan matanya untuk sahabatnya. Karena kebahagiaan sahabatnya adalah kebahagiaan tersendiri baginya.
Sore telah semakin larut, matahari uga ingin kembali ke tempat persembunyiannya. Sasi membantu Denan berdiri dan memberikan tongkat yang biasa digunakan Denan sebagai alat bantu jalan. Dua remaja itu pulang kerumah masing-masing.
Sesampainya Sasi dirumah, dia menghampiri orang tuanya yang sedang duduk diruang keluarga. “Ayah, ibu” ujar Sasi duduk diantara ayah dan ibunya.
“ada apa?” tanya ayahnya sambil meminum kopi dan kembali membaca koran yang sedari tadi ia baca.
“hmm..., begini yah, bu, Sasi ingin meminta izin untuk ...” kata-kata Sasi tiba-tiba terhenti. Dia takut mengatakannya pada kedua orang tuanya.
“Minta izin untuk apa nak?” tanya ibu pada Sasi.
“oh, akuu hanya ingin meminta izin untuk mendonorkan mataku untuk Denan bu” kata Sasi dengan nada bicara yang gemetaran.
“apa? Kamu ingin mendonorkan matamu untuk Denan?” ayahnya terkejut mendengar pernyataan Sasi itu.
“Tidak!!! Aku tidak akan mengizinkanmu untuk mendonorkan matamu. Itu adalah ide yang gila Sasi” kata ayahnya.
“ayah, ibu, ayolah. Bolehkan aku mendonorkan mataku untuk Denan. Selama ini aku telah puas melihat dunia. “ kata Sasi sambil menangis dan terus memohon kepada kedua orang tuanya.
“Sasi, itu adalah ide yang gila. Kau tidak mungkin mendonorkan matamu untuk orang lain, Kau ini masih muda, bagaimana dengan nasibmu jika kau buta.” Kata ibunya dengan nada sedikit emosi.
“ibu, ayah, aku yakin Denan akan menjagaku kelak. Dia adalah sahabat yang baik.” Kata Sasi sambil terus memohon.
Mereka bertiga masih saja berdebat tentang pendonoran mata itu. Akhirnya, orang tua Sasi memperbolehkan Sasi mendonorkan matanya meski mereka tak terlalu yakin.
Keesokan harinya, dua sahabat itu duduk di halaman sekolah. “Denan, aku punya berita bagus untukmu. “ kata Sasi dengan wajah gembira.
“apa? Ayo katakan!” Kata Denan semangat
“sebentar lagi kau akan bisa melihat”
“maksuudmu?”
“ada orang yang akan mendonorkan matanya untukmu”
“kau serius? Siapa pendonornya?”
“entahlah, aku juga tak tahu siapa pendonornya” kata Sasi berbohong.
“wah, aku sungguh berterima kasih pada orang berhati malaikat itu” kata Denan dengan semangat.
“besok kau harus pergi ke rumah sakit cempaka”
“okay!”
Denan sudah tidak sabar untuk menanti ahri esok, ia tak sabar ingin melihat dunia, dan ia juga tak sabar untuk melihat wajah sahabatnya itu.
Matahari mulai menunjukkan sinarnya diufuk timur. Burung-burung berkicau menyambut datangnya hari. Remaja lelaki itu telah rapi dan siap menuju rumah sakit.
Terlihat sang remaja putri telah menunggu dirumah sakit dengan kedua orang tuanya. “Sasi, apakah kau yakin untuk mendonorkan matamu. Pikirlah lagi sebelum kau menyesal kelak.” Saran ibunya
“ hmm, kali ini aku yakin bu”
Beberapa saat kemudian Denan sampai dirumah sakit. Denan dan Sasi pun diperiksa kesehatannya terlebih dahulu. Setelah itu, operasipun dimulai.
Seminggu telah berlalu. Kini, Denan telah bisa melihat indahnya dunia. Tetapi, selama seminggu ini ia tidak melihat Sasi, dia bingung mengapa Sasi tidak ada disaat ia merasakan kebahagiaan. Denan pun memutuskan untuk kerumah Sasi karena dia ingin melihat Sasi.
“tante, Sasinya ada?”tanya Denan pada ibunya Sasi
“oh, Sasinya ada, dia ditaman belakang.“ kata ibunya Sasi tersenyum canggung. Denan pun melangkahkan kakinya ke taman belakang rumah Sasi. Dia melihat seorang gadis berambut panjang sedikit kecoklatan duduk dibangku taman memandang kedepan dengan tatapan kosong. “Sasi” kata Denan. Ia berdiri didepan Sasi.
“kau kah itu Denan?” kata Sasi menghadap ke samping kanan padahal Denan didepannya.
“Sasi, aku didepanmu. Ada apa dengan mu?” tanya Denan curiga apalagi saat ia melihat ada sebuah tongkat disamping Sasi.
“oh, maaf Denan” kata Sasi dengan raut wajah penyesalan.
“Sasi, kau kenapa?” tanya Denan bingung dengan sikap nya aneh
“a..aku buta Denan, aku tak bisa melihat sekarang” kata Sasi sambil menundukkan kepalanya.
“mengapa begitu?” tanya Denan heran.
“minggu lalu, saat aku mau menjengukmu di rumah sakit aku mendapatkan kecelakaan ini”ujar Sasi berbohong
“kalau begitu, kamu harus tetap semangat ya. Aku akan selalu menjagamu.” Ujar Denan. Sasi pun tersenyum bahagia.
Keesokan harinya disekolah tampak Sasi dan Denan sedang berjalan bersama. Tiba-tiba ”eh, ada cowok buta nih. Tunggu-tunggu sekarang bukan cowoknya lagi yang buta tapi ceweknya. Hahahaha” ujar seorang lelaki.
“hey, jaga omonganmu. Jangan ngatain orang seenaknya aja ya. Ngerasa sempurna loe?” bantah Denan
“wah, ternyata kau yang sekarang menjadi lelaki berhati malaikat hahaha” ejek lalaki itu lagi. Kini, seluruh isi koridor menjadi tertawa melihat Denan dan Sasi.
“Sasi, kau jangan sedih ya” kata Denan. Sasi hanya mengangguk.
Lama kelamaan Denan semakin populer disekolahnya. Ditambah lagi ia adalah kapten tim basket. Suatu hari, Denan dihasut oleh temannya agar meninggalkan Sasi. Karena selama ini Sasi selalu merepotkan Denan. Jika itu akan terus berlanjut, Denan bisa tidak populer lagi.
“Benar juga, selama ini Sasi selalu merepotkanku”ujar Denan.
Sebentar lagi hasil kelulusan sekolah akan segera keluar. Denan semakin jarang menemani Sasi. Hingga pada suatu hari, Sasi bertanya “Denan, kamu kok sekarang sudah jarang menemani aku “kata Sasi murung.
“karena aku sudah tidak ingin bersahabat dengan mu, gadis buta. Kau selalu menyusahkanku” bentak Denan.
“apa? Aku menyusahkan mu? Maafkan aku Denan” ujar Sasi penuh penyesalan. Denanpun meninggalkan Sasi seorang diri.
“Denan, kamu jahat” tangis Sasi. Tak sedikitpun terlintas penyesalan bahwa ia telah mendonorkan matanya.
Disaat orang sedang sibuk memilih universitas mana yang akan dip, Sasi hanya berdiam diri dirumah. Ia seperti kehilangan semangat hidup. Lama kelamaan ia menjadi rindu dengan Denan. Dan akhirnya, ia pergi sendirian kerumah Denan. Ternyata, Denan sudah pergi bersama neneknya ke bandara untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Al-azhar. Mendengar itu, Sasi lansung berlari keluar tidak peduli jalan mana yang akan ia lalui. Ia berharap akan ada keajaiban yang membawanya sampai ke bandara tepat waktu sebelum Denan pergi. Namun, langkah kakinya membawa dirinya ke tengah jalan raya yang ramai. Sasi tidak menghiraukan bunyi klakson mobil yang berbunyi dari tadi. Namun, naas tubuh Sasi terpelanting jauh ke pinggir jalan karena tertabrak mobil truk. Darah mencucur keluar dari kepalanya. Saat itu juga, nafas Sasi terhenti untuk selamanya.
***
Diperalanan menuju bandara, Denan hanya diam tak bergeming. Ia lupa memberi tahu pada Sasi tentang kepergiannya ini. Ia menyesal telah berbuat jahat pada Sasi. “Denan, apakah kau sudah memberi tahu pada Sasi tentang kepergianmu ini?” tanya neneknya Denan.
“ oh belum nek”
“kenapa tidak diberi tahu, dia pasti sedih”
“aku lupa nek”
“Denan, kamu tidak boleh seperti itu, seharusnya kamu banyak berterima kasih pada Sasi”
“untuk apa aku berterima kasih padanya?” tanya Denan ketus
“Denan, kenapa kamu berkata seperti itu? Asal kamu tahu saja, kamu tidak akan bisa melihat jika Sasi tidak mendonorkan matanya padamu” ujar nenek.
“apa? Jadi, mataku ini mata Sasi?” Denan merasa menyesal telah berbuat jahat pada Sasi.
“nek, bisakah kita kembali lagi? Aku ingin menunda keberangkatan ini. Aku ingin bertemu dengan Sasi dan meminta maaf padanya”
Mobil Denan pun memutar balik. Padahal sebentar lagi ia akan sampai ke bandara. “aku rela tak jadi bersekolah di universitas Al-azhar, asalkan aku bisa selalu menjaga Sasi, aku akan melakukan apapun demi Sasi. Dialah sahabat ku, always and forever” kata Denan di benaknya.
Setelah sampai dirumah Sasi, “bik, Sasinya ada?”
“Non Sasinya sedang dirumah sakit, tadi ada kecelakaan. Ibu dan ayahnya juga ada di sana” tanpa basa basi, Denan lansung menuju rumah sakit. Perasaannya sungguh tak enak. Ia takut terjadi yang tidak-tidak terhadap Sasi.
Sesampainya dirumah sakit, Denan melihat kedua orang tua Sasi. Ternyata, Sasi telah meninggal dunia. Denan sungguh menyesal, ia tak kuasa menahan tangis. Dia memaki-maki dirinya sendiri karena dulu ia pernah menyakiti hati Sasi. “Sasi, kau akan tetap menjadi sahabatku sekarang dan selamanya, kau pahlawan bagiku. Namamu akan ku ingat nanti dan untuk selamanya. Akan ku jaga matamu ini. Terima kasih banyak Sasi, you’re my everything.
Bagitulah kehidupan dan betul kata pepatah lama, penyesalan selalu datang belakangan. Cerita dua sahabat tadi bisa kita jadikan pelajaran akan pentingnya persahabatan rela berkorban demi sahabatnya tersenyum bahagia. “You Smile, I Smile”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar